-->

Karakteristik, Ciri Dan Referensi Novel Angkatan 20-30An

Berikut ini ialah Artikel yang menjelaskan ihwal Adat, Novel Angkatan 20 – 30-an, Contoh Novel Angkatan 20-30an, Karakteristik Novel Angkatan 20-30an, Ciri Novel Angkatan 20-30an, novel "Azab dan Sengsara".

Novel-novel di Indonesia sudah terbit semenjak tahun 20 – 30-an, tepatnya tahun 1920, yaitu diawali dengan munculnya novel "Azab dan Sengsara" karya Merari Siregar. Setelah kurun waktu tersebut, novel-novel niscaya mempunyai ciri dan nilai-nilai sejarah yang terkandung dalam karya sastra.

Mengidentifikasi Kebiasaan, Adat, dan Etika dalam Novel Angkatan 20 – 30-an

Perlu kalian ketahui, sastra Indonesia mempunyai periode sastra, yakni:
  1. Periode 1920 - 1933 (Angkatan Balai Pustaka)
  2. Periode 1933 - 1942 (Angkatan Pujangga Baru)
  3. Periode 1942 - 1953 (Angkatan '45)
  4. Periode 1957 - 1961
  5. Periode 1961 - 1975
  6. Periode 1975 - 1980-an (cerita rekaan mutakhir)
Hasil karya sastra merupakan cermin zamannya. Sastra yang diciptakan pada masa kini tentu sangat berbeda dengan karya sastra yang diciptakan pada tahun 20-an atau 30-an. Tahun 20-an atau 30-an merupakan masa penjajahan sehingga karya sastra yang dihasilkan menggambarkan kehidupan pada masa penjajahan dengan liku-likunya.

Kebiasaan, adat, dan etika yang dilukiskan pun merupakan pelukisan pada masa itu. Dengan demikian kebiasaan, adat, etika, dan pola pikir tokoh-tokohnya tentu berbeda dengan novel yang diciptakan pada sekarang.

Membaca Ekstensif untuk Menemukan Gagasan dari Beberapa Artikel

Adat dan Kebiasaan dalam Novel Angkatan 20-30an

Setiap zaman mempunyai adat dan kebiasaannya masing-masing, contohnya dalam cara berpakaian, makan, bertamu, upacara pernikahan, syukuran kelahiran anak, dan sebagainya. Kebiasaan satu masyarakat sanggup diketahui dari karya-karya yang diciptakan pada masyarakat itu.

Sebagai contoh, perhatikan cuplikan berikut.

Berkali-kali ia bangkit dari tidurnya. Lalu, memasang lampu listrik dan menulis surat panjang kepada Corrie. Tapi, dirinya semakin khawatir saja. Maka, dengan tidak berpikir panjang, dibukanyalah lemari pakaiannya. Lalu, diisinya sebuah koper kulit dengan pakaian dan pelbagai barang yang mempunyai kegunaan bagi perjalanannya. Hanafi akan berangkat ke Semarang.
Dengan tidak dibacanya lagi, surat itu dibungkusnya, diletakkannya di atas meja beranda muka. Jika ia otak hening di hati, lalu sanggup pula membaca suratnya itu niscahaya Hanafi akan heran, bagaimanakah keadaan otaknya masa itu. Karena surat amat kacau isinya dan tidak berkentuan ujung pangkalnya.

(Salah Asuhan, Abdul Muis, 1928)

Terdapat beberapa alat teknologi yang dinyatakan dalam cuplikan di atas, yakni lampu listrik, surat, lemari pakaian, dan koper kulit. Dengan demikian, menurut dongeng itu, alat-alat menyerupai lampu listrik dan lemari pakaian sudah dikenal pada tahun 1920-1930an. Hanya saja bentuknya yang mungkin berbeda.

Dari sebuah cerita, kita pun sanggup mengenal adat dan kebiasaan satu masyarakat. Seperti tampak dalam dongeng tersebut, yaitu:
  • Pakaian disimpan dalam lemari
  • Bila bepergian (jauh) membawa koper kulit

Karakteristik Novel Angkatan 20-30an

Karya-karya sastra yang lahir pada periode 1920-1930an sering disebut sebagai karya sastra Angkatan Dua Puluhan atau Angkatan Balai Pustaka. Disebut Angkatan Dua Puluhan alasannya ialah novel yang pertama kali terbit ialah pada tahun 1920, yakni novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.

Disebut juga Angkatan Balai Pustaka area karya-karyanya banyak yang diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka. Peran Balai Pustaka dalam menghidupkan dan memajukan perkembangan sastra Indonesia memang sangat besar.

Penerbitan pertamanya ialah buku novel Azab dan Sengsara dan lalu berpuluh-puluh novel lain diterbitkan pula termasuk buku-buku sastra daerah.

Selain disebut Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Dua Puluhan disebut juga Angkatan Siti Nurbaya lantaran novel yang paling laku dan digemari masyarakat pada masa itu ialah novel Siti Nurbaya karangan Marah Rusli.

Novel-novel yang lahir pada periode tersebut mempunyai persamaan-persamaan umum, yakni banyak yang bertemakan problem adat dan kawin paksa. Novel-novel tersebut juga banyak yang berlatar tempat Minangkabau. Hal tersebut lantaran dipengaruhi oleh latar belakang pengarangnya lebih banyak didominasi berasal dari tempat Sumatera Barat.

Ciri lainnya sanggup dilihat pada cuplikan berikut.

Pada malam itulah Hanafi gres sanggup “menguak” utangnya kepada ibunya, yaitu utang yang kira-kira belum akan eksklusif terbayar, meskipun ia memperbuat mahligai tinggi bagi ibunya. Hanafi mengakulah kini bahwa ibunya bukan orang bodoh, oleh lantaran itulah timbullah alasannya ialah etika dan cinta kepada orang itu. Sebab selamanya itu, ibunya hanya memperturutkan saja segala kehendaknya dengan tidak melaksanakan kekerasan sekali juga.

    (Salah Asuhan, Abdul Muis, 1928)

Novel tersebut diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1928. Dari bahasanya saja tampak bahwa novel tersebut merupakan karya tempo dulu. Banyak kata dan kalimat yang tidak dipahami. Walaupun sama-sama menyatakan relasi penyebaban, maksud dari kalimat-kalimat itu susah dicerna.

Baca Juga : Membahas Pementasan Drama yang Ditulis Siswa
LihatTutupKomentar