-->

Facebook Dr. Ros dan Amuk Massa di Aceh Singkil


Facebook Dr. Ros dan Amuk Massa di Aceh Singkil
oleh Admin


A. Pendahuluan: Facebook Dr. Ross dan Amuk Massa di Aceh Singkil
LIMA BELAS menit pascabentrok berdarah yang menyebabkan tewasnya seorang penduduk Muslim dan terbakarnya gereja minoritas Nasrani di Desa Dangguran, Keca-matan Gunung Meriah, Aceh Singkil, pada 13 Oktober 2015, berbagai komentar di-posting dan masuk dalam laman facebook penulis. Nada dan komentar netizen macam-macam, namum umumnya menggunakan kalimat-kalimat agitatif, sarkastis, provokatif, penuh umpatan dan menghujat. Hampir tak ada yang mengusung akal sehat, mayoritas facebooker___baik Muslim maupun Nasrani____muncul dan memberikan komentar dalam wujud emosi yang membabi-buta.
            Pengalaman yang sama pernah pula penulis rasakan awal Januari 2015. Ketika itu, satu puisi satir dengan rima bernuansa komedi masuk di wall facebook penulis. Isi-nya, tentang Dr. Rosnida Sari, seorang dosen pengampu matakuliah Studi Gender pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Ar-Raniry yang tengah menjadi sorotan publik di banyak media sosial maupun media massa konvensional lokal. Ia dihujat karena membawa sejumlah mahasiswa FDK UIN Ar-Raniry ke gereja dalam rangka mendengar-kan ceramah pendeta perihal perspektif kristiani terhadap gender. Tindakan Sari diklaim melampaui kepatutan dan dianggap potensial menjerumuskan mahasiswa-mahasiswa Is-lam berubah kiblat dari Muslim menjadi Nonmuslim. Apalagi, pada saat Sari melakukan hal itu, di Aceh sedang muncul upaya-upaya kristenisasi dan berkembangnya ajaran sesat di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, Dr. Sari dianggap menjadi bagian dari upaya melemahkan penegakan syariat Islam di Aceh.
Beginilah bunyi puisi berjudul “Terima Kasih Rosnida Sari” itu ditulis:
Jangan sakiti Rosnida Sari!/ Karena itu tiada arti/ kalaupun benci cukup “cubiet sekali”/ itupun wewenang UIN Ar-Raniry.
Mengapa?/ Karena Rosnida Sari telah membangunkan kita dari mimpi-mimpi selama ini/ mimpi tentang megahnya negeri yang katanya syar’i/ ter-nyata hanya ilusi.
Tiba-tiba ada mahasiswi islami sedang kuliah di gereja Nasrani/ sedang kita sibuk di pojok masjid memperebutkan tongkat tuk khutbah jumat dua kali/ agar dianggap seperti “wali”/ sibuk diskusi tentang perayaan besar maulid Nabi/ walau Nabi tak pernah mengajari/ hingga kita lupa bangun subuh pa-gi/ alasan capek sekali, kenduri maulid kemarin hari/ padahal bangun subuh pagi itu yang benar-benar ajaran Nabi.
Jangan lukai Rosnida Sari!/ Mengapa?/ karena apa yang dia lakoni hari ini adalah buah kebanggaan UIN Ar-Raniry selama ini/ menyekolahkan dosen-dosennya ke belahan negeri Nasrani.
Rosnida Sari tentu tidak sendiri/ dia diharuskan menunai janji/ tentang orang-orang yang telah memodali/ saat dia terbang ke Australi/ tentu dia ha-rus melapor progres kerja diri/ yang hari ini membuat pusing Pak Rani/ De-kan Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry.
Terima kasih Rosnida Sari!/ Engkau telah menyadarkan mimpi-mimpi kami selama ini/ mimpi kami tentang negeri yang katanya islami/ padahal hanya sekulit ari/ saat kami membuka pintu lemari/ banyak kecoa, kurcaci, dan kwi-tansi.
Entah sampai kapan akhir penantian ini/ entah sampai kapan akhir semua kemunafikan ini.
Wahai Rosnida Sari!/ Harapan kami sebelum kamu jauh pergi/ segeralah kembali ke jalan Ilahi Rabbi/ jalanmu kini penuh duri, perlu sangat hati-hati/ tanggalkan itu sensasi, walau kamu ada janji/ tentang progres yang harus kau penuhi.
Rosnida Sari! Hidup bukanlah suatu tujuan tapi sarana untuk mencapai tu-juan/ akhirat yang kekal abadi itu janji, itu pasti/ sadarilah Rosnida Sari, beristiqfarlah.

Tak cuma itu. Ada banyak stigmatisasi dan ungkapan lain di berbagai media sosial yang menggunakan kalimat-kalimat bernuansa sarkastis dan sinisme dalam menanggapi persoalan Dr. Rosnida Sari maupun segregasi antarumat beragama yang terjadi di Aceh Singkil, khususnya pada konteks relasi sosial dan keagamaan yang sedang bertumbuh-kembang di dalam masyarakat Aceh saat ini.
Tulisan ini tidak berada dalam kapasitas menilai aspek keagamaan Dr. Ros___ Rosnidasari___karena penulis tidak memiliki wewenang dan kemampuan untuk itu. Bela-jar dari “kasus” Dr. Ros dan amuk massa di Singkil, makalah ini hanya akan berada pada tataran melihat relasi media dan agama dengan dasar pijakan bahwa media___baik main-stream (media arus utama seperti tevisi, radio, cetak, dan online) maupun media sosial seperti facebook, twitter dll___memberi pengaruh besar terhadap destruktifitas atas nama agama sebagaimana hal itu potensial terjadi bila memerhatikan komentar sejumlah grup facebook, twit sejumlah pengguna twitter, dan opini-opini yang dibangun pada banyak media sosial lainnya.
Dalam banyak komentar pengguna facebook, baik dalam grup akademis maupun di luar itu, terlihat adanya pemilahan pandangan ketika menelisik kasus Dr. Ros. Bukan tak banyak yang menyayangkan terjadinya peristiwa “belajar di gereja” dengan pernyataan-pernyataan yang menggelegar, di samping dalam jumlah sedikit terdapat pula opini-opini yang menyarankan untuk melihat hal tersebut dalam perspektif lebih ringan, soft, dan menggunakan nalar. Tulisan ini tak hendak berada di salah satu sisinya secara ekstrim. Yang ingin dikritisi adalah tentang betapa komentar-komentar yang ada di dalam laman facebook sebagai salah satu perangkat teknologi informasi, yang sejatinya memiliki niat baik untuk menegakkan suatu keyakinan keagamaan (Islam), tetapi justru disuarakan de-ngan terma yang jauh dari nilai etis sebagaimana diajarkan Islam.
Melalui facebook, isu tentang Dr. Ros dan amuk massa di Singkil menggelinding bagai bola salju. Ia bergulir entah ke mana, menembus berbagai sekat, masuk ke banyak relung. Dalam konteks komunikasi, realitas ini menunjukkan betapa besar pengaruh me-dia sosial dan betapa hebat pula efek yang dapat ditimbulkannya ketika bersinggungaan dengan sentimen sosial dan keagamaan. Sedemikian ganasnya efek media ini, sampai-sampai Dr. Ros harus eksodus ke luar Aceh, bersembunyi di tempat kerabat, dan menon-aktifkan laman facebooknya sendiri. Penonaktifan itu dilakukannya lantaran stigmatisasi dan intimidasi yang ia terima melalui media sosial dengan kadar yang potensial menim-bulkan efek trauma.
Sejak diluncurkan oleh Mark Zuckerberg sepuluh tahun lalu dan digunakan secara massif sebagai media sosial, facebook telah dilibatkan dalam banyak peristiwa bernuansa politik, sosial, dan keagamaan. Dalam aspek agama, kasus Dr. Ros dan amuk massa di Singkil adalah salah satu contohnya. Dalam aspek politik, terlihat nyata pada perseteruan “Cicak vs Buaya” (KPK-Polri) melalui “Gerakan Dua Juta Facebooker Bebaskan Bibit-Chandra”. Untuk contoh aspek sosial, facebook hadir pada kasus “Prita vs Rumah Sakit OMNI” yang mampu menggerakkan masyarakat menyumbangkan koin mereka untuk Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang “bernyanyi” karena merasa terabaikan dari pelayanan rumah sakit bertaraf internasional.
Daya dobrak facebook sebagai perangkat teknologi informasi memang luar biasa. Tak hanya membuat Dr. Ros harus "menghilang" dari publik, ia bahkan berhasil menja-tuhkan raja diraja di negeri Fir’aun. Sudah bukan rahasia lagi bahwa lengsernya Presiden Mesir, Hosni Mubarak, dilatarbelakangi oleh peran signifikan media sosial facebook. Adalah Wael Ghonim yang pernah ditangkap penguasa Mesir dan ditahan selama 12 ha-ri, menjadi otak di balik  perlawanan kaum muda terhadap rezim Hosni Mubarak ketika itu. Dialah yang membangun isu di laman facebook tentang perlunya warga Mesir, di manapun berada, untuk melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahan Sang Presiden yang tidak hendak menyerah kepada tuntutan rakyat. Ghonim berhasil menggalang opini orang tua dan kekuatan anak muda melalui gerakan sunyi dan tersem-bunyi di dunia maya. Pada akhirnya, apa yang ia lakukan di media sosial itu mampu menggalang kekuatan massa di dunia nyata: menumbangkan kekuasaan Presiden Hosni Mubarak yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun.
Dari fakta-fakta tersebut, terlihat bagaimana media sosial memiliki peran luar biasa dalam menegakkan keadilan (kasus Cicak-Buaya), membangkitkan solidaritas sosial (ka-sus Prita Mulyasari),  menjatuhkan kuasa  (kasus Husni Mubarak), dan menstigmatisasi serta membunuh karakter seseorang (kasus Dr. Sari). Di luar itu, sebagai media sosial yang massif facebook pun potensial menciptakan terjadinya benturan sosial dan destruk-tivitas atas nama agama  (kasus Singkil) di samping dapat pula membangun kembali har-moni dan toleransi.
Meski hanya bersifat microblog dan bukannya media mainstream, media-media sosial punya peluang lebih besar menyebarkan suatu berita atau isu dengan cara lebih cepat dan menggelinding bagai bola salju. Dengan total pengguna yang hampir 1 miliar[1] dan terhubung dengan berbagai komunitas di berbagai sudut dunia, media sosial face-book dapat membangun agresifitas orang-orang untuk melakukan sesuatu atau untuk ti-dak melakukan sesuatu. Lihatlah, melalui facebook, pembakaran dan pembunuhan di Singkil terjadi dan orang-orang mengancam Dr. Ros atas nama sentimen agama, meski cara-cara yang digunakan jauh dari prinsip-prinsip agama.

B. Isyarat Nabi Tentang Teknologi dan Facebook
Facebook merupakan perangkat teknologi informasi yang memiliki kemampuan menghubungkan berbagai orang berbeda dari tempat-tempat berbeda di seluruh dunia. Ia bersifat media sosial dan diciptakan pertama kali oleh Mark Zuckerberg___mahasis-wa drop-out dari universitas Harvard, Amerika Serikat___dengan tujuan yang baik, yakni membantu manusia menjalin komunikasi dan mendapatkan informasi. Sejak ide pencip-taannya direalisasikan pada tahun 2004, tak sedikit pun terbersit keinginan menggunakan teknologi facebook untuk tujuan destruktivitas agama atau menimbulkan segregasi sosial di dalam masyarakat. Dalam wujud teknologi, sebagaimana teknologi-teknologi lain (bertaraf rendah atau tinggi) yang ditemukan manusia sejak abad pertama hingga abad ke-21 saat ini, facebook berjalan lurus sebagai suatu temuan positif di bidang informasi dan komunikasi. Manusialah yang memutuskan penggunaannya untuk tujuan-tujuan po-sitif dalam bentuk meningkatkan harkat, martabat, dan kesejahteraan manusia; atau untuk tujuan-tujuan negatif dalam bentuk destruktivitas agama, segregasi sosial, pornografi, atau pengeliminasian aspek humanis pada diri manusia.
Awalnya, facebook  hanya diperuntukkan secara khusus bagi mahasiswa Har-vard sehingga hanya pengguna dengan alamat email Harvard saja yang bisa bergabung dengan jaringan ini.  Pada bulan pertama sejak diluncurkan, lebih dari setengah mahasis-wa sarjana di Harvard terdaftar di situs ini. Namun, pada perkembangan selanjutnya, idealisme Harvard ansich mulai berubah dan aplikasi facebook mulai dibuka bagi banyak mahasiswa dari beragam universitas lain. Pada Maret 2004 saja, misalnya, facebook memperluas diri ke Stanford, Columbia, dan Yale. Situs ini pun kemudian dibuka ke se-kolah Ivy League, Universitas Boston, Universitas New York, MIT, dan secara perlahan kepada mahasiswa-mahasiswa di Kanada dan Amerika Serikat.
Melihat perkembangan dan minat orang yang sangat tinggi terhadap teknologi ini, para investor pun mulai menginvestasikan uangnya pada teknologi yang dianggap poten-sial menjadi trend di masa depan ini. Maka, pada akhir tahun 2004 Mark Zucker-berg bersama dengan teman-temannya yang membantu merintis pembuatan situs face-book ke luar dari Harvard untuk melakukan pekerjaan serius mengembangkan facebook secara lebih baik. Hal ini dilakukannya setelah mendapatkan investasi dari pendiri pen-damping PayPal, Peter Thiel, senilai $500.000,- beberapa bulan berikutnya dari Accel ($12.700.000,-) dan dari Geylock  ($27.500.000) sehingga total investasi Mark saat itu menjadi $40.000.000.- (setara Rp. 548 milyar pada kurs 1 dolar = Rp. 13.700,-).[2] Lang-kah Mark menuai sukses sehingga pada 26 September 2006 Facebook telah terbuka un-tuk semua orang yang memiliki alamat email sehingga ia menjadi situs jejaring sosial yang paling ramai dikunjungi dengan anggota mencapai hampir 1 miliar, [3] termasuk di Aceh. Pada tahun 2010 Social Media Today menyatakan sekitar 41,6% penduduk Ame-rika Serikat memiliki akun Facebook, sedangkan studi Compete.com pada tahun 2009 menempatkan Facebook sebagai layanan jejaring sosial yang paling banyak digunakan menurut jumlah pengguna aktif bulanan di seluruh dunia.
Isyarat mengenai kehadiran facebook sebagai salah satu perangkat teknologi infor-masi dan komunikasi sebenarnya telah disampaikan Rasulullah lebih 1.400 tahun lalu melalui berbagai hadis. Saat abad ke-7 Masehi, Muhammad (Muhammad S.a.w.) telah mengabarkan berbagai hal yang akan terjadi di masa depan meski saat Muhammad me-nyampaikan hal tersebut masyarakat Arab tidak memiliki teknologi yang memungkinkan mereka melakukan eksperimen/penelitian tentang dunia atau alam semesta.
Sebagian dari informasi menarik yang diberitakan Muhammad dan kini mulai ter-lihat bukti-bukti empiris dan realitas ilmiahnya terdapat dalam hadis tentang gambaran teknologi komunikasi yang muncul pada abad modern. Sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi, dalam hadis tersebut Muhammad menyatakan: Hari Akhir (kiamat) tak akan tiba sebelum seseorang berbicara dengan gagang cambuknya.” [4]
Dengan melakukan analisis kondisi sosio-antropologis masyarakat Arab saat Mu-hammad menyampaikan hadis tersebut, dapat diketahui bahwa ketika itu cambuk dipakai secara luas untuk menaiki hewan-hewan tunggangan, khususnya onta dan kuda. Maka, di zaman modern, benda yang dapat dikomprasikan dengan bentuk dan fungsi seutas cam-buk adalah telepon genggam atau suatu perangkat komunikasi lain yang serupa dengan itu. Alat komunikasi nirkabel, seperti telepon genggam atau telepon satelit, selain dapat digunakan sebagai alat komunikasi dalam bentuk suara (wicara) kini dapat pula berfungsi sebagai remote kontrol untuk menghidupmatikan fungsi kunci dan arah laju kendaraan bermotor sebagai pengganti onta atau kuda tunggangan dalam melakukan mobilitas sehari-hari.
Dalam riwayat lain, Muhammad pun menyatakan bahwa, “Tak ada Hari Pengadi-lan (kiamat)… hingga seseorang berbicara dengan suaranya sendiri.” [5] Pesan dalam ha-dis di atas cukup jelas: seseorang yang mendengar suaranya sendiri merupakan karakte-ristik dan periodisasi yang akan terjadi menjelang bumi mendekati akhir. Dalam konteks ini, bagi seseorang yang menginginkan agar dapat mendengar suaranya sendiri, tentu saja pertama-tama suaranya itu harus direkam, baru kemudian didengarkan. Teknologi reka-man dan reproduksi suara merupakan produk teknologi yang muncul pada abad ke-20 dan merupakan titik balik dari kemajuan sains yang telah memungkinkan lahirnya ber-bagai industri di bidang komunikasi, informasi, dan media. Rekaman suara kini sudah mencapai titik kulminasi dengan perkembangan mutakhir dalam aspek digitalisasi dan teknologi laser.
Subyek yang mendeskripsikan teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis tentang akhir zaman di atas didapati pula dalam hadis yang menyatakan bahwa, menjelang kiamat, “Satu tangan akan menjulur dari langit, dan orang-orang akan menyaksikannya.”[6] Di hadis lain: “Tanda hari itu adalah sebuah ta-ngan menjulur di langit dan orang-orang pun berhenti untuk melihatnya.” [7]
Kata “tangan” dalam hadis di atas merupakan kiasan (konotasi). Bila disandingkan dengan teknologi yang muncul dewasa ini, pernyataan tadi dapat ditafsirkan dengan se-jumlah hal. Misalnya, televisi dan facebook (internet) yang kini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kata “tangan” yang disebut dalam hadis itu dapat dimaknai untuk mengiaskan kekuasaan, bisa pula dipakai untuk menyebut gambar-gambar yang muncul dari langit dalam bentuk gelombang (televisi) atau sinyal (internet seperti facebook, twitter, dan WhasApp yang memiliki kemampuan mengirim serta menampilkan gambar, bahkan suara).
Beberapa hadis relevan lain juga mengabarkan tentang teknologi informasi dan ko-munikasi pada abad moderen. Hadis-hadis ini mendeskripsikan bahwa kiamat hanya akan terjadi ketika teknologi komunikasi telah berkembang dengan baik dalam bentuk suara. “Suara ini akan tersebar ke seluruh penjuru dunia, dan setiap suku bangsa akan mendengarnya dalam bahasa mereka.”[8] Disebutkan pula, “Sebuah suara dari langit yang mana setiap orang akan mendengarnya dalam bahasa mereka sendiri.”
Hadis ini menyebutkan perihal suara yang akan terdengar ke seluruh penjuru dunia dan dalam bahasa setiap orang. Dalam konteks komunikasi, yang dimaksud dengan suara di sini tentu saja radio, televisi, dan teknologi internet yang memiliki kemampuan mengi-rim dan memperdengarkan suara. Karena itu, ketika menafsirkan hadis-hadis yang dise-butkan di atas, ulama kontemporer Said Nursi, menyatakan bahwa hadis-hadis ini secara menakjubkan meramalkan kemunculan perangkat-perangkat komunikasi kontemporer di abad moderen. Tentu saja perangakt-perangkat itu adalah radio, televisi, dan internet (fa-cebook, twitter, WhasApp dll).

C. Potensi Destruktivitas Agama dan Segregasi Sosial Facebook
Facebook dan berbagai teknologi informasi yang telah diisyaratkan Muhammad pada abad ke-7 kini telah muncul pada abad ke-21 dan telah dipakai secara massif oleh banyak manusia. Berbagai perangkat itu telah digunakan dengan beragam kepentingan, termasuk untuk tujuan kesejahteraan, mempererat kohesi sosial, meningkatkan spirituali-tas, di samping terdapat pula yang memanfaatkannya untuk kepentingan destruktif, pem-bunuhan karakter, dan menciptakan segregasi sosial seperti dialami Dr. Rosnidasari mau-pun komunitas Islam-Nasrani di Singkil.
Dalam hal destruktivitas agama dan terjadinya segregasi sosial, kisah yang akan penulis nukilkan berikut ini dapat menjadi contoh nyata bagaimana sesungguhnya media informasi dan komunikasi___dalam bentuk apapun, termasuk facebook___memiliki peran menciptakan lahirnya destruktivitas atas nama agama. Kisah yang dialami Isioma Daniel di Nigeria dan Radio Television de Mille Collines (RTML) berikut ini benar-benar nyata dan dapat menjadi pelajaran penting bagi pengguna facebook tentang bagaimana seharus-nya mereka memanfaatkan teknologi komunikasi.
Kita mulai dari cerita tentang Isioma Daniel, wartawan This Day, sebuah koran na-sional Nigeria yang memberitakan kontes Miss World tahun 2002 yang berlangsung di negeri itu.
Suatu Jumat ketika tengah disibukkan oleh persiapan produksi This Day edisi Sab-tu, melalui telepon mobil dan dalam pembicaraan yang singkat, Redaktur Senior Daniel menugaskannya membuat tulisan pendek perihal pendapat publik menyangkut kontes yang sedang berlangsung. Daniel manggut saja dan menyanggupi menyusun naskah se-bagaimana diinginkan atasannya.
Di hari yang sangat melelahkan dengan proses penyuntingan dan perubahan di menit-menit terakhir untuk edisi Sabtu itu, tentu saja Daniel harus menulis cepat dan tak memiliki banyak waktu untuk memikirkan berbagai fakta. Ia pun menulis kolom yang mengulas perihal banyaknya keengganan publik terhadap kontes tersebut dengan gaya “jenaka dan sarkastik”. Ia membahas keberatan kelompok feminis dan keengganan kaum Muslim terhadap kontes yang digelar. Parahnya, di antara berbagai kata, diksi, dan para-graf, Daniel “terlanjur” menulis satu kalimat yang nantinya terlihat menjadi akar masalah di Nigeria: ia menuliskan imajinasinya tentang pendapat Nabi Muhammad atas kontes Miss World itu dengan menyatakan bahwa Sang Nabi kemungkinan akan memilih se-orang istri dari para kontestan yang ada.
Meski menjadi koran nasional, This Day rupanya tak punya redaktur khusus untuk menyunting bahasa. Awak redaksi yang berjumlah kecil akhirnya sama-sama bertang-gung jawab dan bertindak sebagai penyunting (editor). Dikejar tenggat (deadline), sece-patnya Daniel mengirimkan naskah yang telah disunting secara mandiri itu kepada Re-daktur Seniornya. “Redaktur membaca beberapa baris pertama, lalu menyetujui untuk menerbitkan artikel itu,” kata Daniel sebagaimana dikisahkan dalam Journalism Ethics: The Global Debate (2003) dan diulang kembali oleh Hanif Suranto dan Bambang Wisu-do dalam Wajah Agama di Media.[9]
Dapat ditebak, tulisan Daniel menyulut terjadinya ketegangan agama dan konflik etnik. Para pembaca dari kalangan Muslim di Nigeria bagian utara marah, terutama keti-ka merujuk pada komentar Daniel soal Nabi yang akan memilih seorang istri dari para kontestan Miss World itu. Tak perlu menunggu lama, bahkan hanya dalam hitungan hari, kekerasanpun merebak di seluruh utara Nigeria. Berbagai pembunuhan, terutama terha-dap pemeluk Kristen, terjadi. Kerusuhan muncul di mana-mana. Perusuh bahkan memba-kar kantor This Day di Kaduna.
Tak cuma Nigeria. Rwanda pun punya kisah serupa. Melalui Broadcasting Genoci-da (2004) yang menceritakan perihal kerusuhan rasial dan genosida (pembunuhan, peng-hilangan etnis) di Rwanda, dapat terlihat bagaimana media___dalam hal ini RTML___ memiliki kontribusi terhadap terbunuhnya 800-an ribu minoritas Tutsi oleh mayoritas su-ku Hutu sehingga RTML harus mempertanggungjawabkannya di depan Mahkamah In-ternasional. Siaran RTML telah mengobarkan kebencian Hutu terhadap Tutsi sehingga minoritas Tutsi dicari, diburu, dan dikejar-kejar meski ke rumah ibadah sekalipun. Pada tahun 1994 itu, masjid dan gereja bahkan menjadi salah satu ladang pembantaian terbesar selama genosida berlangsung.
Dua kisah di atas menunjukkan kepada kita bahwa teknologi komunikasi, dalam hal ini media, memiliki pengaruh besar dalam membentuk sikap, perilaku, dan bahkan agresifitas masyarakat atas nama agama dan identitas sosial.
Itu tadi di Nigeri dan Rwanda. Bagaimana dengan negara ini? Konflik antarumat beragama, Kristen vs Islam yang baru saja terjadi di Singkil (Aceh) atau yang pernah ter-jadi sebelumnya di Ambon (Maluku), dapat menjadi deskripsi untuk melihat Indonesia. Karena pengaruh media, permasalahan di Ambon yang awalnya sangat sederhana, yakni hanya soal pertengkaran mulut seorang penduduk lokal dan seorang pendatang di Pasar Mardika, Kota Ambon, kerusuhan massal kemudian terjadi hingga menyebabkan ribuan orang tewas dan ratusan ribu lainnya mengungsi. Perteng-karan antardua laki-laki pada 19 Januari 1999 itu tiba-tiba berubah menjadi konflik etnis antara penduduk Ambon lokal dan penduduk pendatang dari Buton-Bugis-Makassar (BBM) yang kemudian melebar da-lam sebuah konflik yang disebut-sebut sebagai konflik agama. “Perang suci” terjadi seca-ra eskalatif ketika Laskar Jihad dan Laskar Kristus bersimbiosis di dalam konflik yang awalnya hanya dipicu pertengkaran mulut dua orang yang bersinggungan di pasar tadi.
Meskipun dimensi agama terlihat menonjol, konflik yang terjadi di Ambon sesung-guhnya berakar pada masalah yang multidimensi. Berbagai faktor saling berinteraksi dan memiliki bagian tersendiri sebagai kontributor penyebab konflik. Tidak ada faktor tung-gal yang dapat dipersalahkan sebagai satu-satunya penyulut konflik. Meskipun dimensi etnik dan agama ditonjolkan, namun faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi pun punya andil yang hampir sama daya destruktifitasnya. Semua potensi itu menjadi nyata ketika media___sekali lagi, mainstream maupun sosial seperti facebook___mengambil peran de-ngan membungkus, memoles, dan mendiseminasikannya ke depan publik lewat berbagai kalimat agitasi, foto yang membakar, dan pesan-pesan mengintimidasi.
Kalimat-kalimat membakar, agitatif, provokatif, dan menghujat itulah yang kini marak di media sosial. Tak hanya yang ditujukan oleh pen-twit atau pengguna facebook terhadap Dr. Ros, hujatan-hujatan bahkan terjadi juga di antara para pengguna facebook yang mengomentari soal “kuliah gender di gereja”. Hasilnya, dari semula menyerang Dr. Ros, kemudian terjadi segregasi dan benturan di antara komentator itu sendiri. Meski ha-nya di dunia maya, tentu saja hal ini harus dapat dilihat sebagai potensi konflik. Toh, di Pasar Mardika yang hanya perang mulut dua lelaki saja bisa menjadi penyulut muncul-nya konflik yang lebih besar, apalagi ketika sudah melibatkan banyak orang melalui je-jaring sosial.

D. Etika Islami Pengguna Teknologi Facebook
Dalam menghadapi sensitifas soal agama, pembaca media mainstream dan peng-guna media sosial perlu bijak serta waspada pada berbagai kalimat bernada agitatif-provokatif. Dalam kondisi seperti ini, biasanya, selalu saja ada yang menangguk di air keruh. Islam mengajarkan bahwa dalam konteks komunikasi, seorang Muslim yang men-dapatkan suatu informasi mesti memiliki kuriositas, yakni keingintahuan dan cross-check terhadap kebenaran dari informasi yang diterima (tabayyun). Saat ini, arus informasi me-ngalir begitu deras. Setiap saat ada berita baru, pandangan baru, pengetahuan baru. Sum-bernya pun beragam, dari yang terpercaya sampai yang tak jelas dan samar-samar; mulai yang mengandung fakta-fakta sampai yang berdasar asumsi semata. Semua ini harus membuat kita pandai dalam memilah dan memilih. Mana yang harus didengar, diresapi, ditanggapi, atau diabaikan saja.
Cepatnya informasi datang dari berbagai arah di laman facebook justru mesti mem-buat kita semakin hati-hati, tidak tergesa-gesa percaya begitu saja, mengambil kesimpul-an lalu berasumsi, apalagi sampai menghakimi. Dalam Al-Qur’an kaum Muslim telah di-ingatkan: Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Al-lah, maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu, “Kamu bukan seorang mukmin,” (lalu kamu membunuhnya) dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah memberi-kan nikmat-Nya kepadamu, maka telitilah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. [10]
Di sisi lain, dalam konteks informasi dan komunikasi, Al-Qur’an pun memberikan lima prinsip bagi kaum Muslim. Prinsip-prinsip itu adalah:
1.    Qaulan sadidan, yakni informasi yang benar. Kebenaran harus disampaikan lewat perkataan yang benar dan bebas dari rekayasan bahasa seperti kata-kata yang sa-ngat abstrak, ambigu, atau istilah yang tak bermakna jelas.
2.    Qaulan balighan, yakni komunikasi yang jelas maknanya dan dapat mengungkap-kan apa yang dikehendaki, fasih, serta menggunakan bahasa sesuai dengan ke-mampuan komunikan.
3.    Qaulan maisuran, yakni ucapan (komunikasi) yang pantas dan proporsional.
4.    Qaulan kariman, yakni kata-kata (informasi) yang mulia, tidak agitatif, tidak me-rendahkan obyek dan komunikan, serta mampu mengakomodasi semua makna yang telah dikomunikasikan. Jadi, tidak provokatif, tidak memanas-manasi atau meresahkan.
5.    Qaulan ma’rufan, yakni berkomunikasi secara baik yang mampu memberi kon-sepsi dan inspirasi secara sempurna.

Karena itu, pengguna media sosial perlu memberi jeda untuk setiap kabar yang di-terima melalui facebook, twitter, atau pertemuan antarmuka. Resapi, renungi, kemudian coba pahami. Telitilah dalam mengamati, kendalikan emosi. Cari pendapat kedua, ketiga, dan seterusnya. Dengar dari berbagai pihak yang terlibat. Telusuri sumbernya, kumpul-kan faktanya, pelajari substansinya. Jangan terlalu gegabah meneruskan suatu informasi hanya karena gampangnya meng-klik icon “share” di laman facebook maupun twitter yang kita miliki.
Menegakkan Islam, mensucikan agama melalui facebook, penulis kira harus juga dilakukan dengan cara-cara bagaimana seharusnya seorang Muslim berperilaku. Tak da-pat disangkal, isi status yang kita twit atau kita pampang dan share di wall facebook kita adalah cerminan tentang siapa kita. Karena itu, mengutip Abul ‘Ala al-Maududy, meng-islamkan orang Islam___penulis kira termasuk dalam perilaku men-twit via twitter maupun menyebarkan berita melalui facebook___jauh lebih penting daripada mengislam-kan orang yang belum Islam. Nah?


BIBLIOGRAFI

Al-Hindi, Al-Muttaqi, ‘Al-Burhan fi ‘Alamat Al-Mahdi Akhir Az-Zaman, Riyadh: Makta-bah Al-Ma’arif, tt.
At-Tirmidzi, Al-Imam Al-Hafidh Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan At-Tirmidzi, Ri-yadh: Maktabah Al-Ma’arif, tt.
Devito, A. Joseph, Human Communication, terj. Agus Maulana, Jakarta: Professional Books, 1997.  
Hidayatullah, Syarif dan Zulfikar S. Dharmawan, Islam Virtual: Keberadaan Dunia Is-lam di Internet, Jakarta: Mifta, 2013.
Morissan, Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa, Jakarta: Kencana, 2013.
Nugraha, Pepih, Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman, Jakar-ta: Kompas, 2012.
Suranto, Hanif dan Bambang Wisudo (Ed.), Wajah Agama di Media, Jakarta: LSPP, 2010).
Tubbs, Stewart L. dan Sylvia Moss, Human Communication, terj. Deddy Mulyana, Ban-dung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984.





[1]  Pepih Nugraha, Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman, (Jakarta: Kompas, 2012), hlm. 97.
[2] Syarif Hidayatullah dan Zulfikar S. Dharmawan, Islam Virtual: Keberadaan Dunia Islam di Internet, (Jakarta: Mifta, 2013), hlm. 239.
[3] Pepih Nugraha, Citizen Journalism: Pandangan..., hlm. 97.
[4] Al-Imam Al-Hafidh Muhammad bin Isa bin Saurah At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, tt), hlm. 29
[5] At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, hlm. 30.
[6] At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, hlm. 32.
[7] Al-Muttaqi Al-Hindi, ‘Al-Burhan fi ‘Alamat Al-Mahdi Akhir Az-Zaman, (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, tt), hlm. 17.
[8] Al-Muttaqi Al-Hindi, ‘Al-Burhan fi..., hlm. 18.
[9] Hanif Suranto dan Bambang Wisudo (Ed.), Wajah Agama di Media, (Jakarta: LSPP, 2010), hlm. 54.
[10] QS. An-Nisā: 136. Teks terjemahan lihat, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia Proyek Pengadaan Ki-tab Suci Al-Qur’an, 1984), hlm. 862.
LihatTutupKomentar